PENDAHULUAN. Pembelajaran dan belajar adalah dua hal yang tak terpisahkan dan saling berkaitan erat, karena dalam pembelajaran ada unsur belajar, sebaliknya dalam belajar selalu diawali dengan adanya pembelajaran. Oleh karena itu keduanya harus seiring sejalan dalam mengawal anak didik mencapai pemahaman seluruh materi ajar yang ditempuhnya agar berhasil menempuh pendidikan dengan baik.
Sejauh ini guru telah banyak mengalami masa kebimbangan setiap kali lahir kurikulum baru. Dalam benak guru, perubahan kurikulum berarti perubahan segala apa yang telah mapan yang telah lama ditekuni, disusun, dan dijalankan. Pikiran ini ada benarnya, karena bila kita renungkan, guru-guru pada masa lalu yang tidak pernah atau jarang mengikuti penataran, lokakarya, seminar, apalagi TOT, justru malah dapat menghasilkan generasi anak didik yang luar biasa baiknya dibandingkan sekarang. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Sebagai contoh, anak didik jaman dahulu lebih baik dalam memahami cara menulis huruf yang benar, cara menghitung tanpa coretan (mencongak), lebih rajin mencatat dan mendengarkan guru, bahkan mereka yang tidak memiliki bukupun tanpa disuruh guru menjadi ahli meringkas dari buku teman, bukan seperti sekarang meringkas sebagai tugas guru kepada anak didik. Ditinjau dari segi afektif, mereka lebih jujur dalam ujian, karena belum ada fotokopi, sehingga setiap kali ulangan soal hanya dibacakan dan anak didik langsung menjawab, lebih tertanam nilai-nilai afektif yang dalam, yaitu menghormati guru, berbagi sesama teman, menghargai bangsanya melalui lagu-lagu kebangsaan yang hafal di luar kepala. Selain itu dari segi psikomotorik mereka lebih kreatif dan inovatif ketika harus mengerjakan praktikum dan prakarya, bahan apapun dapat digunakan, tidak perlu membeli seperti saat ini.
Kita tidak akan mencari dimana letak terjadinya kesalahan dalam sistem pendi-dikan saat ini, tetapi lebih pada memikirkan apa yang dapat dilakukan guru dengan kondisi seperti ini, agar sisa-sisa nilai pendidikan yang positif jaman dahulu tetap dapat dianut. Bukankah yang kuno belum tentu lebih jelek daripada yang modern? Selama yang kuno tersebut dapat dimodifikasi sedemikian rupa, maka justru di situlah letak keunggulan pendidikan kita berlandaskan kepribadian bangsa sendiri, bukan meniru kemajuan bangsa lain, karena hal itu belum tentu tepat dan baik untuk bangsa kita. Mengejar kemajuan negara lain (bukan mengejar ketertinggalan) memang HARUS, tetapi jangan lalu berdiri di awang-awang tanpa menginjak di bumi pertiwi sendiri. Singkat kata, inovasi pembelajaran HARUS kita lakukan, tetapi harus tetap melihat kenyataan di lapangan. Ya ... melihat gurunya, anak didiknya, sarana prasarana sekolah, potensi daerah, dan lain-lain. Dengan demikian inovasi yang dikembangkan dapat dianut dan diterapkan oleh semua sekolah tanpa embel-embel ”tapi dengan syarat ....”. Inovasi yang seperti apakah yang dapat menghasilkan pembelajaran yang efektif sekaligus menyenangkan bagi peserta didik? Mari kita bersama-sama mencoba membahasnya.
KONDISI PENDIDIKAN KITA SAAT INI
Seiring dengan kemajuan di bidang pendidikan, maka secara perlahan-lahan telah terjadi perubahan paradigma pendidikan, seperti perubahan dari teacher centered ke student centered; diterimanya pendekatan, metode, dan model pembelajaran baru yang inovatif; munculnya kesadaran bahwa informasi/pengetahuan dapat diakses lewat berbagai cara dan media oleh peserta didik; teknologi pembelajaran berbasis teknologi informasi (TI) mulai diterapkan; orientasi pendidikan bukan hanya pada pengembangan sumber daya manusia (human resources development), tetapi juga pada pengembangan kapabilitas manusia (human capability development); diperkenalkannya e-learning; dependence ke independence; individual ke team work oriented; dan large group ke small class.
Namun demikian kita masih melihat adanya pembelajaran di sekolah-sekolah yang berpusat pada guru dimana guru masih aktif sebagai pemberi informasi dan mendominasi pembelajaran di kelas, sedangkan peserta didik pasif sebagai penerima informasi, meski-pun paradigma pendidikan yang baru sudah mengarahkan pada student centered. Selain itu pembelajaran masih menekankan pada hafalan dan drill-drill (latihan) yang kemungkinan besar disebabkan banyaknya materi yang harus diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun peserta didik tidak lagi dianggap objek pembelajaran, tetapi kenyataannya materi pembelajaran masih sangat ditentukan oleh guru. Di sebagian besar sekolah, masih terlihat kurang mengoptimalkan pengembangan kapabilitas peserta didik, baik yang menyangkut cipta, rasa, dan karsa, serta peserta didik kurang memiliki kesempatan untuk berpikir kritis, logis, kreatif, dan inovatif.
Dengan kenyataan seperti itu, maka sudah saatnya bagi guru untuk mencoba mengembangkan profesionalismenya melalui pengembangan model-model pembelajaran yang benar-benar mampu mengaktifkan dan menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan sekaligus menyenangkan. Dengan demikian peserta didik akan merasakan kebermaknaan belajar bagi hidup dan kehidupannya dan akhirnya meaningful learning akan terwujud.
INOVASI PEMBELAJARAN
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (1997), inovasi berarti penemuan sesuatu yang baru atau berbeda dengan sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Sedang-kan inovatif adalah bersifat memperkenalkan sesuatu yang baru. Pembelajaran adalah suatu proses kegiatan yang berupaya membelajarkan anak didik. Jadi, inovasi pembe-lajaran adalah suatu aktivitas memperkenalkan sesuatu yang baru dalam upaya membelajarkan anak didik, atau memperkenalkan sesuatu yang baru ketika melakukan transfer pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai pada anak didik.
Pengertian “berbeda” bukan berarti benar-benar sesuatu yang baru, tetapi kita dapat mengambil sesuatu yang sudah lama kemudian dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi sesuatu yang baru yang belum pernah diperkenalkan pada anak didik. Inovasi pembelajaran dapat dilakukan terhadap semua komponen pembelajaran, seperti metode, pendekatan, sarana prasarana, kurikulum, media, lingkungan belajar. Dalam inovasi pembelajaran, kita mengenal adanya PAKEM, yaitu Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan, tetapi kita perlu menambahkan satu lagi, yaitu pembelajaran inovatif, sehingga menjadi PAIKEM dengan I di tengah sebagai Inovatif. Prinsip pembelajaran PAIKEM ini sangat sesuai dengan yang diinginkan dalam KTSP.
Kelima bentuk pembelajaran tersebut dapat dikemas dan dimunculkan dalam setiap proses pembelajaran, baik sendiri-sendiri maupun gabungan diantaranya. Namun demikian, mengingat ruang gerak guru sangat dibatasi oleh alokasi waktu jam pelajaran di sekolah yang harus berbagi dengan mata pelajaran yang lain, maka sangat sulit bagi seorang guru untuk menerapkan kelima bentuk pembelajaran tadi secara bersama-sama. Oleh karena itu, seorang guru tidak harus memaksakan diri untuk menerapkan kelimanya, tetapi setiap kali pertemuan menerapkan salah satu diantaranya sudah berarti bahwa guru tersebut melakukan inovasi pembelajaran.
Dalam penciptaan inovasi pembelajaran yang terpenting adalah kemauan dan keinginan guru untuk mengubah image belajar sebagai suatu keterpaksaan menjadi suatu kebutuhan, dengan cara membawa anak didik menikmati sisi-sisi keindahan dan kemena-rikan dari suatu materi pelajaran yang sedang dipelajarinya. Hal ini hanya dapat dilakukan bila guru melakukan inovasi pembelajaran menggunakan prinsip pembelajaran bermakna dan menyenangkan (meaningful learning dan joyful learning). Sesuai dengan pendapat Ausubel (1991) bahwa belajar akan bermakna jika anak didik dapat mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konsep yang sudah ada dalam struktur kognitifnya, dan pendapat Bruner (1991) yang menyatakan belajar akan berhasil lebih baik jika selalu dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar (anak didik). Secara logika dapat dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila isi dari yang dipelajari ada kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari dan kata-kata atau kalimat yang didengar sudah familiar di kepala kita. Melalui inovasi pembelajaran inilah, diharapkan ada perbaikan praktik pembe-lajaran ke arah yang lebih baik (Carolin Rekar Munro, 2005). Perubahan ini tidak harus terjadi secara draktis, tetapi dilakukan ”perlahan-lahan tetapi pasti”. Perbaikan pada proses sangat penting agar keluaran yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN PAIKEM
a. Pembelajaran Aktif
Anak didik belajar, 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan didengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan dilakukan (Sheal, Peter, 1989). Pernyataan tersebut nampak sejalan dengan yang diharapkan dalam Kurikulum 2006, yang menginginkan peserta didik mencapai suatu kompetensi tertentu yang dapat diko-munikasikan dan ditampilkan.
Kurikulum terbaru kita menginginkan adanya perubahan pembelajaran dari teacher centered ke student centered. Perubahan ini tidak semudah diucapkan, karena pola pembelajaran kita sudah terbiasa dengan cara guru menjelaskan dan menyampaikan informasi, sedangkan peserta didik lebih banyak menerima. Namun bukan berarti kita pesimis dengan perubahan itu, tetapi mungkin pencapaiannya memerlukan waktu. Bagai-manapun habits yang sudah terbentuk lama, untuk mengubahnya perlu kesungguhan dan kemauan tinggi dari semua komponen yang terlibat dalam pembelajaran.
Dengan telah banyaknya guru tersertifikasi saat ini, seorang guru dituntut untuk dapat menunjukkan keprofesionalannya. Salah satunya dapat menyajikan materi ajar dengan berbagai pendekatan dan strategi yang kesemuanya diharapkan mampu meng-aktifkan peserta didik. Oleh karena itu, guru harus kreatif dan inovatif menciptakan berbagai kegiatan yang tidak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi di luar kelas dan laboratorium. Menurut John W. Hansen & Gerald G. Lovedahl (2004) ”belajar dengan melakukan” merupakan sarana belajar yang efektif, artinya seseorang akan belajar efektif bila ia melakukan. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan KTSP, dimana guru harus lebih banyak memberikan kegiatan aktif kepada peserta didik, sehingga pemahaman peserta didik terhadap materi ajar akan lebih efektif. Confucius menyatakan bahwa “what I do, I understand” (apa yang saya lakukan, saya paham), artinya ketika seorang guru banyak memberikan aktivitas yang bersifat keterampilan, maka peserta didik akan memahaminya secara lebih baik (Mel Silberman, 2002 : 1).
Kita telah mengenal lama istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), dan sekarang istilah ini dimunculkan kembali. Hal yang sangat wajar bila dalam pembelajaran anak didik diharuskan lebih aktif, karena tidak mungkin seorang guru mampu mengajarkan secara mendalam dan klasikal di hadapan mereka yang heterogen. Hal ini sejalan dengan pendapat Laster (1985) yang menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran seharusnya lebih ditekankan pada belajar bukan mengajar.
Pembelajaran aktif artinya pembelajaran yang mampu mendorong anak didik aktif secara fisik, sosial, dan mental untuk memahami dan mengembangkan kecakapan hidup menuju belajar yang mandiri, atau pembelajaran yang menekankan keaktifan anak didik untuk mengalami sendiri, berlatih, beraktivitas dengan menggunakan daya pikir, emosi-onal, dan keterampilannya. Melalui pembelajaran aktif diharapkan anak didik akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimilikinya. Selain itu, mereka secara penuh dan sadar dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya, lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara sistematis, kritis, tanggap, sehingga dapat menyelesaikan masalah sehari-hari melalui penelusuran informasi yang bermakna baginya.
Guru yang aktif adalah guru yang memantau kegiatan belajar anak didik, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang, dan memperbanyak gagasan anak didik untuk dapat dimunculkan. Sedangkan anak didik yang aktif adalah mereka yang sering bertanya, mengemukakan pendapat, mempertanyakan gagasan sendiri/orang lain, dan aktif melakukan suatu kegiatan belajar (Mel Silberman, 2002).
Sayangnya, sebagian guru kurang mampu mengajukan pertanyaan yang menan-tang kepada anak didik, sehingga pembelajaran aktifpun jarang tercipta. Hal ini kemung-kinan disebabkan berbagai hal, seperti alasan klise karena dikejar waktu untuk menye-lesaikan materi hingga tak sempat berpikir ke arah itu, ketidaksiapan guru itu sendiri untuk membuat dan menjawab pertanyaan menantang. Padahal dengan pertanyaan menantang sudah pasti anak didik kita terpacu dan termotivasi untuk mencari jawaban dan itu berarti aktivitas belajar mereka semakin tinggi dan wawasan pengetahuannya akan selalu ber-tambah dari hari ke hari.
b. Pembelajaran Inovatif dan Kreatif
Setiap manusia secara normal pasti memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu yang baru. Demikian juga anak didik, jika dalam pembelajaran disuguhi sesuatu yang baru pasti akan timbul semacam energi baru dalam mengikuti pelajaran. Dengan kata lain, sesuatu yang baru mampu bertindak seperti magnet yang menarik minat dan motivasi anak didik untuk mengikutinya.
Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran dengan memperkenalkan sesuatu yang berbeda yang belum dialami dari sebelumnya. Sesuatu yang baru tidak identik dengan sesuatu yang mahal. Apa yang nampaknya sepele, bisa saja mampu membuat pembelajaran lebih hidup hanya karena sang guru mampu melakukan inovasi. Dalam penciptaan pembelajaran inovatif yang terpenting adalah kemauan dan keinginan guru untuk membuat belajar menjadi menarik untuk diikuti dan menghilangkan kebosanan peserta didik dalam belajar.
Kreatif adalah cara berpikir yang mengajak kita keluar dan melepaskan diri dari pola umum yang sudah terpateri dalam ingatan. Pembelajaran kreatif adalah pembelajaran yang mengajak anak didik untuk mampu mengeluarkan daya pikir dan daya karsanya untuk menciptakan sesuatu yang di luar pemikiran orang kebanyakan. Kreatif merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris to create yang dapat diurai : C (combine), R (reverse), E (eliminate), A (alternatif), T (twist), E (elaborate). Jadi, seorang anak didik yang berpikir kreatif dalam benaknya berisi pertanyaan: dapatkan saya meng-kombinasi/menambah, membalik, menghilangkan, mencari cara/bahan lain, memu-tar, mengelaborasikan sesuatu ke dalam benda yang sudah ada sebelumnya? (Radno Har-santo, 2005).
Melepaskan diri dari sesuatu yang sudah terpola dalam pikiran kita bukanlah pekerjaan yang mudah. Beberapa hal yang mampu membangkitkan pikiran kita untuk menjadi kreatif antara lain : berfantasi atau mengemukakan gagasan/ide yang tidak umum, terkesan “nyleneh”, berada pada satu gagasan / ide untuk beberapa saat, berani mengambil resiko, peka terhadap segala keajaiban, penasaran terhadap suatu kebenaran, banyak membaca artikel penemuan yang membuatnya kagum dan terheran-heran.
Untuk dapat menciptakan pembelajaran inovatif maupun kreatif diperlukan tiga sifat dasar yang harus dimiliki anak didik maupun guru, yaitu peka, kritis, dan kreatif terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Peka artinya orang lain tidak dapat melihat keterkaitannya dengan konsep yang ada dalam otak, tetapi kita mampu menangkapnya sebagai fenomena yang dapat dijelaskan dengan konsep yang kita miliki. Kritis artinya fenomena yang tertangkap oleh mata kita mampu diolah dalam pikiran hingga memunculkan berbagai pertanyaan yang menggelitik kita untuk mencari jawabannya. Kreatif artinya dengan kepiawaian pola pikir kita didasari pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep tertentu lalu kita berusaha menjelaskan atau bahkan menciptakan suatu aktivitas yang mampu menjelaskan fenomena tersebut kepada diri sendiri atau orang lain.
Sebagai contoh, seorang guru SD dapat meminta anak didiknya menyimpulkan sifat benda cair hanya dengan meminta seluruh anak didiknya mengisi air ke dalam gelas plastik yang beraneka ragam bentuknya. Seorang guru IPA SD dapat meminta anak didiknya menyimpulkan bentuk-bentuk daun hanya dengan meminta anak didiknya mengumpulkan daun-daun yang ada di sekitarnya. Demikian juga guru Bahasa Indonesia SD dapat mengajarkan berbagai kata tanya dengan mengemasnya menjadi syair lagu.
Guru yang kreatif dan inovatif adalah guru yang mampu mengembangkan kegi-atan yang beragam di dalam dan di luar kelas, membuat alat bantu/media sederhana yang dapat dibuat sendiri oleh anak didiknya. Demikian pula anak didik yang kreatif dan inovatif mampu merancang sesuatu, menulis dan mengarang, dan membuat refleksi terhadap semua kegiatan yang dilakukannya.
c. Pembelajaran Efektif
Efektif memiliki makna tepat guna, artinya sesuatu yang memiliki efek/pengaruh terhadap yang akan dicapai/dituju. Pembelajaran efektif artinya pembelajaran yang mampu mencapai kompetensi yang telah dirumuskan, pembelajaran dimana anak didik memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran dikatakan efektif jika terjadi perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Adapun ciri-ciri pembelajaran efektif diantaranya tercapainya tujuan yang diharap-kan, anak didik menguasai keterampilan yang ditargetkan. Belajar dan mengajar akan efektif jika anak didik aktif dan semua aktivitas pembelajaran berpusat pada anak didik. Hal ini karena pembelajaran yang berpusat pada anak didik akan mampu menimbulkan minatnya dan secara tidak langsung mereka memahami konsep dan kaitannya dengan aspek-aspek kehidupan.
Suatu pembelajaran yang efektif di dalamnya pasti mengandung pembelajaran yang aktif, inovatif, dan kreatif, sebab keefektivan dalam pembelajaran dapat tercapai jika peserta didik diikutsertakan dalam pembelajaran (aktif), diberikan suasana pembelajaran yang mendorong anak didik untuk berpikir lebih dari sekedar yang diberikan (inovatif), dan memunculkan kreativitas berpikir, berperilaku, dan bertindak (kreatif).
Suatu aktivitas pembelajaran akan berhasil atau efektif jika direncanakan sebaik-baiknya oleh pelaksana pembelajaran di kelas, yaitu guru. Oleh karena itulah guru diharapkan mampu menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sesuai dengan karakteristik materi yang akan disampaikan dan karakteristik peserta didiknya.
Dunia anak adalah dunia bermain, dunia yang penuh dengan hingar bingar kegembiraan, karena mereka belum dapat memahami secara mendalam permasalahan kehidupan di sekitarnya. Berkaitan dengan hal ini, maka seorang guru SD penting memahami dunia anak, agar pembelajaran yang diterapkan benar-benar sesuai dengan tahap perkembangan anak didiknya. Setiap guru pasti menginginkan pembelajaran yang dilakukan berhasil membawa anak didiknya pada penguasaan materi yang diajarkan dan sekaligus mampu menerapkan dalam berbagai situasi permasalahan yang berkaitan dengan materi tersebut. Hal itu hanya dapat terjadi dan terwujud jika seorang guru tahu bagaimana menerapkan pembelajaran yang efektif.
Makna efektif tidak hanya berkaitan dengan keberhasilan peserta didik mengu-asai materi yang ditunjukkan dengan prestasi atau hasil belajar, tetapi mampu menginter-nalisasikan materi tersebut ke dalam hati dan menampilkannya dalam bentuk perilaku. Hal ini karena mendidik bukan semata-mata transfer of knowledge, tetapi juga transfer of value. Sebagai contoh ketika guru menyampaikan materi matematika tentang operasi penambahan dan pengurangan pada anak didiknya, bukan hanya untuk menjelaskan bahwa Rp. 1. 000,00 - Rp. 500,00 = Rp. 500,00, tetapi ketika si anak ada dalam kehidupan nyata ia akan menerapkan manakala beli di warung dan ternyata kembaliannya kelebihan, sehingga ia akan mengembalikan kelebihannya. Di situlah value yang berupa nilai kejujuran diterapkan berdasarkan pengetahuan matematika tentang ”pengurangan”.
Efektif juga mengandung makna bahwa materi yang diperoleh dapat menjadi sarana bagi peserta didik untuk berkreasi, berinovasi, dan aktif menambah wawasan ilmu lebih dari sekedar yang disampaikan guru. Kondisi seperti ini hanya dapat tercipta jika guru senantiasa merancang pembelajarannya sedemikian rupa sehingga mampu mendorong dan merangsang peserta didik untuk belajar, belajar, dan belajar terus, untuk berpikir jauh ke depan. Sebagai contoh, ketika mengajar guru selalu mengajukan pertanyaan yang menantang peserta didik untuk berpikir, tentu saja berpikir sesuai dengan tahap perkembangannya. Misal ketika mengajarkan bahwa gas dapat menempati ruangan, guru tidak langsung menjelaskan itu, tetapi memancing dengan pertanyaan ”mengapa balon jika ditiup menjadi menggembung?”, baru kemudian dari jawaban-jawaban peserta didik guru membuat simpulan sekaligus menjelaskan.
Jadi, inti dalam pembelajaran efektif, anak didik tidak hanya disuapi tetapi ia hanya diberi sendok untuk memasukkan makanan itu sendiri ke dalam mulutnya. Anak yang duduk di kelas awal SD adalah anak yang berada pada rentangan usia dini. Masa usia dini merupakan masa perkembangan yang sangat penting dan sering disebut “The Golden Years” bagi kehidupan seseorang. Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata, yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada dalam lingkungannya. Pema-haman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikirannya) dan akomodasi (proses meman-faatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Belajar dimaknai sebagai proses interaksi diri anak dengan lingkungannya. Anak belajar dari hal-hal yang konkret, yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, dan diraba.
Proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta belaka, tetapi kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang lebih utuh. Hal ini sejalan dengan falsafah konstruktivisme yang menyatakan bahwa manusia mengkontruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada anak, tetapi anak perlu disuguhi contoh konkret yang ada dalam kehidupannya, sehingga dapat merasakan kemanfaatan dari materi yang dipelajarinya.
d. Pembelajaran Menyenangkan (Joyful Learning)
Saat ini di berbagai negara sedang trend dan semangat mengembangkan joyful learning dan meaningful learning, yaitu dengan menciptakan kondisi pembelajaran sede-mikian rupa sehingga anak didik menjadi betah di kelas karena pembelajaran yang dijalani menyenangkan dan bermakna. Mereka merasakan bahwa pembelajaran yang dijalani memberikan perbedaan dalam memandang dunia sekitar dan merasakan memperoleh sesuatu yang lebih dari apa yang telah dimilikinya selama ini. Sebagai bangsa yang ingin maju dalam era globalisasi yang kompetitif ini tentunya kita juga ingin merasakan pembelajaran yang demikian.
Semua mata pelajaran dapat dibuat menjadi menyenangkan, tergantung bagai-mana niat dan kemauan guru untuk menciptakannya. Pembelajaran yang dikemas dalam situasi yang menyenangkan, jenaka, dan menggelitik sangat diharapkan oleh anak didik saat ini yang sangat rawan stres karena saratnya materi ajar yang harus dikuasai. Penelitian terhadap beberapa anak-anak sekolah dasar di dunia yang diadakan UNESCO menunjukkan sebagian dari mereka menginginkan belajar dengan situasi yang menye-nangkan (Dedi Supriadi, 1999).
Pembelajaran menyenangkan artinya pembelajaran yang interaktif dan atraktif, sehingga anak didik dapat memusatkan perhatian terhadap pembelajaran yang sedang dijalaninya. Penelitian menunjukkan bahwa ketika seorang guru menjelaskan suatu materi tanpa ada selingan dan anak didik hanya mendengarkan, melihat, dan mencatat, maka perhatian dan konsentrasi mereka akan menurun secara draktis setelah 20 menit. Keadaan ini semakin parah jika guru tidak menyadari dan pembelajaran hanya berjalan monoton dan membosankan (Tjipto Utomo dan Kees Ruijter, 1994). Lebih lanjut dikemukakan, keadaan ini dapat diatasi apabila guru menyadari lalu mengubah pembela-jarannnya menjadi menyenangkan dengan cara memberi selingan aktivitas atau humor. Tindakan ini secara signifikan berpengaruh meningkatkan kembali perhatian dan konsen-trasi anak didik yang relatif besar.
Pembelajaran menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat anak didik tidak takut salah, ditertawakan, diremehkan, tertekan, tetapi sebaliknya anak didik berani berbuat dan mencoba, bertanya, mengemukakan pendapat / gagasan, dan mempertanya-kan gagasan orang lain. Menciptakan suasana yang menyenangkan tidaklah sulit, karena kita hanya menciptakan pembelajaran yang relaks (tidak tegang), lingkuangan yang aman untuk melakukan kesalahan, mengaitkan materi ajar dengan kehidupan mereka, belajar dengan balutan humor, dorongan semangat, dan pemberian jeda berpikir. Dalam belajar guru harus menyadari bahwa banyak kata ”aku belum tahu” akan muncul dan kata ”aku tahu” sedikit muncul, karena mereka memang dalam tahap belajar. Demikian pula guru harus menyadari bahwa otak manusia bukanlah mesin yang dapat disuruh berpikir tanpa henti, sehingga perlu pelemasan dan relaksasi.
Sesuai dengan pendapat Ausubel bahwa belajar akan bermakna jika peserta didik dapat mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konsep yang sudah ada dalam struktur kognitifnya, dan pendapat Bruner yang menyatakan belajar akan berhasil lebih baik jika selalu dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar. Secara logika dapat dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila yang dipelajari ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan kata-kata atau kalimat yang didengar sudah familiar di kepala kita. Melalui joyful learning diharapkan ada perbaikan praktik pembelajaran ke arah yang lebih baik. Perubahan ini tidak harus terjadi secara draktis, perlahan-lahan tetapi pasti. Perbaikan proses sangat penting agar keluaran yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
Seperti diketahui, otak kita terbagi menjadi dua bagian, yaitu kanan dan kiri. Terkadang dalam dunia pendidikan kita lupa akan pentingnya mengembangkan otak sebelah kanan. Secara umum hanya otak kiri yang menjadi sasaran pengembangan, terutama untuk ilmu eksakta. Otak sebelah kanan adalah bagian yang berkaitan dengan imajinasi, estetika, intuisi, irama, musik, gambar, seni. Sebaliknya otak sebelah kiri berkaitan dengan logika, rasio, penalaran, kata-kata, matematika, dan urutan. Untuk menepis hal itu, sebenarnya kita dapat tunjukkan bahwa ilmu apapun mampu digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan otak sebelah kanan, diantaranya dengan cara memahami dan menghafal konsep melalui puisi, nyanyian, maupun permainan teka-teki.
Otak kita adalah bagian tubuh yang paling rawan dan sensitif. Otak sangat menyukai hal-hal yang bersifat tidak masuk akal, ekstrim, penuh warna, lucu, multisensorik, gambar 3 dimensi (hidup), asosiasi, imajinasi, simbol, melibatkan irama / musik, dan nomor/urutan. Berdasarkan hal ini, maka kita sebagai pendidik dapat merancang apa yang sebaiknya kita berikan kepada anak didik agar otak mereka menyukainya. Sebagai contoh mengemas pembelajaran dengan menggunakan puisi atau lagu untuk menyimpul-kan materi yang diajarkan, atau melalui teka-teki jenaka untuk mengevaluasi sejauhmana mereka menguasai materi yang diajarkan.
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN KONSTRUKTIVISTIK
Menurut Canella & Reiff (1994: 27-28) belajar dengan pendekatan konstruktivistik berarti mengonstruksi atau menyusun struktur pemahaman/pengetahuan dengan cara mengaitkan dan menyelaraskan fenomena, ide, atau pengetahuan baru ke dalam struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Aliran konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus diinter-prestasikan sendiri oleh mereka. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Jawaban peserta didik atas suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka saat itu. Jika ada jawaban salah, bukan disalahkan, tetapi ditanyakan bagaimana ia dapat memperoleh jawaban itu. Dengan demikian peserta didik terlibat aktif dalam proses perolehan suatu konsep.
Strategi pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dapat dilakukan guru dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu:
- Menyajikan masalah-masalah aktual kepada peserta didik dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan mereka.
- Menekankan pembelajaran di sekitar konsep-konsep primer.
- Mendorong peserta didik untuk mengajukan pertanyaan sendiri.
- Mengkondisikan peserta didik berani menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri.
- Mengkondisikan peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat dan menghargai sudut pandangnya sendiri.
- Menantang peserta didik agar dapat melakukan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar penyelesaian tugas melalui pertanyaan yang menantang.
- Menganjurkan peserta didik belajar dalam kelompok.
- Mendorong peserta didik untuk berani menemukan tanggungjawab.
- Melakukan penilaian, baik terhadap proses maupun hasil belajar peserta didik dalam konteks pembelajaran.
Inti pendekatan konstruktivistik adalah peserta didik diharuskan mampu mengons-truksi sendiri pemahaman terhadap suatu konsep berdasarkan struktur kognitif yang telah ada lalu peserta didik melakukan penyelarasan dengan konsep baru yang diterimanya
PENUTUP
Guru adalah profesi yang luar biasa mulia diantara profesi yang lain. Dengan kesabaran dan keprofesinalannya seorang guru berusaha mentransfer segala apa yang dimilikinya kepada anak didik tanpa lelah, setiap hari dan setiap saat. Seorang guru senantiasa dituntut untuk melakukan pembaharuan dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai pendidik. Melalui penerapan dan pemodifikasian model pembelajaran yang sedang berkembang saat ini diharapkan anak didik menjadi subjek belajar yang baik dan generasi yang mandiri, mampu menciptakan sesuatu secara kreatif dan inovatif tanpa harus meniru bangsa lain.
Tanpa mengurangi makna sebenarnya dari pembelajaran, marilah kita berusaha menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, sehingga mampu mengubah image belajar sebagai suatu keterpaksaan menjadi suatu kebutuhan, dengan cara membawa peserta didik menikmati sisi-sisi keindahan dan kemenarikan dari suatu materi pelajaran yang sedang dipelajarinya dalam kemasan model pembelajaran yang tepat. Semoga kita termasuk guru yang dapat menciptakan kesenangan dalam belajar, bahkan kalau mungkin dapat menyebabkan anak didik kecanduan belajar. Hidup ini penuh pilihan, semoga pilihan kita sebagai guru adalah pilihan yang tepat untuk masuk surga (Amiiin).
Demikianlah uraian mengenai beberapa hal yang terkait dengan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan atau yang lebih dikenal dengan Joyful Learning semoga memberikan tambahan ilmu yang yang bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Canella & Reiff .(1994). Individual constructivist teacher education: Teachers as empowered learners. Teacher Education Quarterly, 21(3), 27-28.
Carolin Rekar Munro. (2005). “Best practices” in teaching and learning : Challenging current paradigms and redefining their role in education. The College Quarterly. 8 (3), 1 – 7.
Dedi Supriadi. (1999). Mengangkat citra dan martabat guru. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Kamisa. (1997). Kamus lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Kartika.
Laster, Lan. (1985). The school of the future : some teachers view on education in the year 2000. New York : Harper Collins Publishers.
John W. Hansen & Gerald G. Lovedahl. (2004). Developing technology teachers : questioning the industrial tool use model. Journal of Technology Education. 15 (2), 20 – 32.
Mel Silberman. (2002). Active learning : 101 strategi pembelajaran aktif. Yogyakarta : Yappendis.
Radno Harsanto. (2005). Melatih berpikir analitis, kritis, dan kreatif. Jakarta : Grasindo.
Sheal, Peter. (1989). How to develop and present staff training courses. London : Kogan Page Ltd.
Tjipto Utomo dan Kees Ruijter. (1994). Peningkatan dan pengembangan pendidikan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.